5 Oktober 2011

Mengajarkan Tasamuh dalam Perbedaan



Persoalan paling serius dari bangsa yang beraneka ragam seperti Indonesia adalah soal toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Agar tak tercipta konflik antara agama ataupun ras. Lalu, bagaimana cara menumbuhkan toleransi pada generasi muda?
Tak berlebihan rasanya bila Robert Cribb seorang sejarawan dan guru besar sejarah dari Universitas Queensland, Australia dalam bukunya Indonesia Beyond Suharto, menyebut “Memandang peta ini (maksudnya peta Indonesia), rasanya tidak mungkin, di sebuah kawasan yang sangat luas lebih dari 5500km terdiri dari 13.600 pulau–versi Angkatan Laut RI, jumlah pulau di Indonesia mencapai mencapai 17.000 bagi Cribb, bukan hanya panjang tetapi juga lebar, dari kepulauan Miangas sampai ke pulau Roti, dengan tiga zona waktu: Barat, Tengah, dan Timur.
Masih menurutnya lagi, tidak terbayangkan dan rasanya sangat mustahil kalau disitu ternyata hanya ada satu Negara. Bukan beberapa Negara. Masih menurut Cribb yang bukunya diedit Donald K. Emmerson itu, dirinya lebih terkejut lagi, ternyata Negara itu sebuah Negara kesatuan NKRI bukan Negara serikat. Betapa kagumnya para intelektual dunia kepada Indonesia, namun bangsa Indonesia memandang biasa–biasa saja terhadap negaranya sendiri. Seperti gajah di pelupuk mata tak tampak.
Indonesia menurut para intelektual dunia adalah negeri yang ajaib. Bukan hanya besar secara territorial tetapi juga besar dalam jumlah penduduk. Dengan rakyat mencapai 236 juta jiwa, hanya kalah dengan Cina yang berpenduduk 1,4 miliar jiwa penduduk, kedua India dengan 1,2 miliar jiwa penduduk, ketiga Amerika Serikat dengan 280 juta jiwa penduduk.
Selain jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, Indonesia juga merupakan bangsa yang sangat majemuk dari sudut suku, etnis, adat kebiasaan, dan bahasa. Hildred Geertz istri dari Clifford Geertz, seorang Indosianis menulis dengan rinci jumlah suku dan bahasa lokal yang digunakan oleh bangsa Indonesia. Indonesia memiliki tak kurang dari 300 suku bangsa dengan bahasa atau dialek yang berbeda–beda. Ini berkah sekaligus ancaman bila tak dikelola dengan baik. Dimanapun perbedaan bila terlalu meruncing memicu keretakan.
Disitulah Pancasila berfungsi sebagai perekat. Romo Mudji, budayawan dan pengajar di Universitas Indonesia menyebutkan, Indonesia yang sangat beragam ini hanya butuh satu solusi agar keluar dari persoalan kekerasan antar ras dan agama, dengan menghargai perbedaan dan toleransi. Islam juga menganjurkan toleransi dalam konsep tasamuh, yakni bersabar dalam menghadapi keyakinan–keyakinan orang lain, pendapat–pendapat mereka dan amal–amal mereka walaupun bertentangan dengan keyakinan dan bathil menurut pandangan islam.
Tasamuh juga menganjurkan tidak boleh menyerang dan mencela dengan celaan yang membuat orang tersebut sakit dan tersiksa perasaannya.“Dan janganlah kalian mencela orang–orang yang berdoa kepada selain Allah, yang menyebabkan mereka mencela Allah dengan permusuhan dan tanpa ilmu. Demikianlah kami menghiasi untuk setiap umat amalan mereka, lalu dia mengabarkan kepada apa yang mereka lakukan”.(QS. Al–An’am: 108)
Lantas bagaimana membumikan tasamuh di kalangan generasi masa depan? “Anak–anak oleh keluarga semestinya sudah diajarkan perbedaan sejak dini, sebelum mereka beranjak remaja,” kata Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog dari Universitas Indonesia. Lebih cepat diajarkan toleransi lebih baik bagi perkembangan jiwa anak–anak. Saat anak mulai bergaul dengan teman–temannya, dia akan mulai merasakan perbedaan. Jika tidak diajarkan bertoleransi, nantinya dia bisa berkonflik dengan teman–temannya karena perbedaan.
Belajar Tasamuh di Usia Balita Toleransi adalah perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada dengan sesama. Biasanya orang bertoleransi terhadap perbedaan kebudayaan dan agama. Namun, konsep toleransi ini juga bisa diaplikasikan untuk perbedaan jenis kelamin, anak–anak dengan gangguan fisik maupun intelektual dan perbedaan lainnya, “Toleransi juga berarti menghormati dan belajar dari orang lain, menghargai perbedaan, menjembatani kesenjangan budaya, menolak stereotip yang tidak adil, sehingga tercapai kesamaan sikap,” ujar Tamrin.
Mengenai pembelajaran toleransi sejak dini, Imam B. Prasodjo, sosiolog, menyebutkan di usia empat tahun, adalah usia yang baik untuk mengajarkan sikap menghormati terhadap perbedaan. Sebelum mencapai usia itu, bukan berarti anak tidak dapat menyerap berbagai contoh atau mengetahui nilai–nilai toleransi, namun di usia itu komunikasi verbal sudah bisa terjalin. Sebab, sebenarnya sejak usia satu tahun, alam bawah sadar anak dapat menyerap contoh yang dilakukan oleh orang tua dan orang–orang di sekelilingnya. Namun pada usia dua tahun, sebagian besar anak masih cenderung memiliki sifat egosentris. Artinya, anak menganggap bahwa dirinya adalah segalanya, yang membuat mereka sulit berbagi atau belum bersedia main dengan orang lain. Disinilah peran penting orang tua dalam menanamkan nilai toleransi kepada anaknya, terutama menstimulasi anak agar dia siap menerima keberadaan orang lain.
Secara bersamaan, juga menanamkan karakter toleran terhadap orang lain yang berbeda dari dirinya. Lingkungan rumah dan sekolah memegang peranan penting dalam mengembangkan toleransi beragama. Jika lingkungan rumah atau sekolah yang ditemui anak bersifat heterogen, anak dapat memahami perbedaan agama dan kebiasaan yang dilakukan masing–masing agama. Pasalnya, anak–anak biasanya belajar dari apa yang dilihat dan didengar dari orang tua dan orang–orang disekitarnya.
Keseharian orang tua yang selalu toleran terhadap perbedaan memberikan pengaruh yang besar terhadap anak, sehingga anak akan lebih menghargai tentang perbedaan juga. “Anak–anak di masa depan dihadapkan dengan era globalisasi yang mengharuskan mereka berhadapan dengan orang–orang yang memiliki latar belakang berbeda, sehingga pemahaman keragaman merupakan hal penting bagi masa depan anak–anak,” ujar Imam. Apalagi, kelak jarak antar Negara dan benua sudah semakin dekat berkat kemajuan teknologi.
Berbicara bersama mengenai toleransi dan memberi contoh perilaku akan membantu anak menghargai arti dari perbedaan. Berilah kesempatan kepada anak untuk bermain dan bekerja sama dengan teman–temannya yang lain. Psikolog anak Gordon Allport melihat anak–anak yang diamatinya lebih cenderung tumbuh toleran, jika mereka tinggal di rumah yang mendukung dan penuh kasih. “Mereka merasa disambut, diterima, dicintai, tidak peduli apa yang mereka lakukan,” ungkapnya. Dalam lingkungan seperti itu, lanjut Allport, pandangan yang berbeda tentang segala hal akan diterima, ganjaran yang didapat tidak keras atau berubah–ubah, dan anak–anak ini umumnya memikirkan orang–orang dari segi positif dan membawa rasa itikad baik dan bahkan kasih sayang.
Seperti peraturan lain, toleransi harus diajarkan dengan cara yang bijak. Meskipun anak belum bisa bicara, mereka biasanya melihat dan meniru perilaku orang tuanya. Anak–anak, usia berapa pun, akan mengembangkan kemampuan mereka dengan mencontoh perilaku dan penghargaan dari orang–orang yang dekat dengan mereka. Ada empat cara bagaimana mengajarkan toleransi pada buah hati. Pertama, perkenalkan keragaman. Anda bisa memulai dengan member pengertian bahwa ada beragam suku, agama, dan budaya. Beritahukan pada buah hati meskipun orang lain memiliki agama atau suku yang berbeda, manusia sebenarnya sama dan tidak boleh dibeda–bedakan. Memperkenalkan keragaman sedini mungkin nantinya bisa memupuk jiwa toleransi buah hati agar lebih memandang perbedaan yang ada secara lebih bijak.
Kedua, perbedaan bukan untuk menimbulkan kebencian. Ajarkan pada buah hati bahwa perbedaan yang ada, jangan disikapi dengan kebencian, karena kebencian akan membuat sedih dan menyakiti hati orang lain. Cobalah ajak buah hati untuk berandai–andai jika dia dibenci karena perbedaan, tentu akan merasa sedih. Dengan begitu, dia lebih merasa empati dan bertoleransi dengan apa yang dirasakan  orang lain.
Ketiga, beri contoh. Jangan hanya memberi tahunya lewat kata–kata, tetapi juga contoh nyata. Jika bertemu seseorang menggunakan simbol agama yang cukup ekstrim atau seseorang yang memiliki warna kulit berbeda, jangan memandangnya dengan penuh keanehan, apalagi mengatakan sesuatu bernada kebencian dan ledekan. Ingatlah bahwa anda adalah contoh bagi buah hati. Bersikaplah seperti biasa dan jika buah hati berrtanya berikan penjelasan yang bijak.
Keempat, bertoleransi untuk kedamaian. Beritahukan pada buah hati bahwa sikap toleransi itu sangat dibutuhkan. Jika tidak ada sikap toleransi, banyak orang yang akan bermusuhan dan saling membenci. Katakana juga padanya jika hal itu terjadi, dia tidak akan nyaman saat bersekolah ataupun bermain.

Membumikan Pancasila di Hati Generasi Masa Depan Bangsa




Ketika para pendiri bangsa menyusun Pancasila. Filsafat bangsa ini diserap dari nilai–nilai luhur bangsa Indonesia, yang diakui kebenarannya secara universal. Ia adalah rekam jejak kebijakan lokal yang telah hidup sejak abad pertengahan. Tantangannya, generasi muda kini tak mengenal Pancasila akibat reformasi meninggalkan Pancasila di ruang yang gelap. Terabaikan. Lantas, di saat bangsa Indonesia melaju tanpa jati diri dalam politik global, sudah saatnya generasi muda mengenali sekaligus menjalankannya.
Kemajemukan Indonesia, tanpa pengelolaan yang serius, meminjam istilah Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog UI adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Di sisi lain, Islam dengan maraknya aksi bom bunuh diri dicap sebagai ideologi tanpa toleransi. Keras tanpa kompromi. Era reformasi juga melahirkan wajah–wajah Islam garis keras, yang gemar merusak dan anti perbedaan. Jauh dari konsep tasamuh atau toleransi seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.
Kita bisa belajar dari sejarah Islam yang menunjukkan begitu tolerannya umat Islam terhadap non Islam. Yakni kemurahan hati yang diperlihatkan oleh Salahuddin al–Ayyubi pada 1188M saat dia berhasil merebut kembali Yerussalem dari tentara salib. Ketika Salahuddin tiba ia menyaksikan pasukan salib sedang mengotori masjid dengan menyimpan babi di dalamnya. Bahkan para ahli sejarah Eropa pun mengakui bahwa Salahuddin tidak sakit hati dan menuntut balas, bahkan memberi maaf kepada mereka. Kecuali segelintir orang yang selalu menjadi biang keladi pertumpahan darah, antara umat Islam dan Nasrani.
Terminologi toleransi dan tasamuh memang berbeda secara filosofis. Toleransi adalah arti dari kata saling menghargai yang diambil dari kata tolerance, sementara tasamuh mengandung arti “kemurahan hati”(Jud wa karam) dan “kemudahan” (tasahul). Di Barat kata “toleransi” itu menunjukkan adanya sebuah otoritas berkuasa, yang dengan “memaksa” diri untuk bersikap sabar atau membiarkan orang lain yang berbeda.
Namun, dalam Islam kata “tasamuh” justru menunjukkan kemurahan hati dan kemudahan dari kedua belah pihak atas dasar saling pengertian. Istilah itu selalu dipergunakan dalam bentuk hubungan timbal balik. Dengan demikian toleransi dalam Islam bisa dimaknakan membangun sikap untuk saling menghargai, saling menghormati antara satu dengan lainnya. Islam memberikan penjelasan–penjelasan yang jelas akan pentingnya membina hubungan baik antara muslim dengan non muslim.
Islam begitu menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati dan berbuat baik walupun kepada umat yang lain. Pertama, keyakinan umat Islam bahwa manusia itu adalah makhluk yang mulia apapun agama, kebangsaan dan warna kulitnya. Firman Allah SWT: “…..Dan sungguh telah kami muliakan anak–anak Adam (manusia)…..”(QS.Al – Isra’:70), maka kemuliaan yang telah diberikan Allah SWT ini menempatkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk dihormati, dihargai dan dilindungi. Imam Bukhari dari Jabir ibn Abdillah bahwa ada jenazah melewati nabi Muhammad saw. Beliau berdiri untuk menghormatinya. Lalu ada yang bertanya kepada beliau “Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu jenazah Yahudi.” Beliau menjawab dengan nada bertanya: “Bukankah ia juga manusia?”.