Persoalan
paling serius dari bangsa yang beraneka ragam seperti Indonesia adalah soal
toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Agar tak tercipta konflik
antara agama ataupun ras. Lalu, bagaimana cara menumbuhkan toleransi pada
generasi muda?
Tak berlebihan rasanya bila
Robert Cribb seorang sejarawan dan guru besar sejarah dari Universitas
Queensland, Australia dalam bukunya Indonesia
Beyond Suharto, menyebut “Memandang peta ini (maksudnya peta Indonesia),
rasanya tidak mungkin, di sebuah kawasan yang sangat luas lebih dari 5500km
terdiri dari 13.600 pulau–versi Angkatan Laut RI, jumlah pulau di Indonesia
mencapai mencapai 17.000 bagi Cribb, bukan hanya panjang tetapi juga lebar,
dari kepulauan Miangas sampai ke pulau Roti, dengan tiga zona waktu: Barat,
Tengah, dan Timur.
Masih menurutnya lagi, tidak
terbayangkan dan rasanya sangat mustahil kalau disitu ternyata hanya ada satu
Negara. Bukan beberapa Negara. Masih menurut Cribb yang bukunya diedit Donald
K. Emmerson itu, dirinya lebih terkejut lagi, ternyata Negara itu sebuah Negara
kesatuan NKRI bukan Negara serikat. Betapa kagumnya para intelektual dunia
kepada Indonesia, namun bangsa Indonesia memandang biasa–biasa saja terhadap
negaranya sendiri. Seperti gajah di pelupuk mata tak tampak.
Indonesia menurut para
intelektual dunia adalah negeri yang ajaib. Bukan hanya besar secara
territorial tetapi juga besar dalam jumlah penduduk. Dengan rakyat mencapai 236
juta jiwa, hanya kalah dengan Cina yang berpenduduk 1,4 miliar jiwa penduduk,
kedua India dengan 1,2 miliar jiwa penduduk, ketiga Amerika Serikat dengan 280
juta jiwa penduduk.
Selain jumlah penduduk
keempat terbesar di dunia, Indonesia juga merupakan bangsa yang sangat majemuk
dari sudut suku, etnis, adat kebiasaan, dan bahasa. Hildred Geertz istri dari Clifford
Geertz, seorang Indosianis menulis dengan rinci jumlah suku dan bahasa lokal
yang digunakan oleh bangsa Indonesia. Indonesia memiliki tak kurang dari 300
suku bangsa dengan bahasa atau dialek yang berbeda–beda. Ini berkah sekaligus
ancaman bila tak dikelola dengan baik. Dimanapun perbedaan bila terlalu
meruncing memicu keretakan.
Disitulah Pancasila
berfungsi sebagai perekat. Romo Mudji, budayawan dan pengajar di Universitas
Indonesia menyebutkan, Indonesia yang sangat beragam ini hanya butuh satu
solusi agar keluar dari persoalan kekerasan antar ras dan agama, dengan
menghargai perbedaan dan toleransi. Islam juga menganjurkan toleransi dalam
konsep tasamuh, yakni bersabar dalam
menghadapi keyakinan–keyakinan orang lain, pendapat–pendapat mereka dan
amal–amal mereka walaupun bertentangan dengan keyakinan dan bathil menurut
pandangan islam.
Tasamuh
juga menganjurkan tidak boleh menyerang dan mencela dengan celaan yang membuat
orang tersebut sakit dan tersiksa perasaannya.“Dan janganlah kalian mencela
orang–orang yang berdoa kepada selain Allah, yang menyebabkan mereka mencela
Allah dengan permusuhan dan tanpa ilmu. Demikianlah kami menghiasi untuk setiap
umat amalan mereka, lalu dia mengabarkan kepada apa yang mereka lakukan”.(QS.
Al–An’am: 108)
Lantas bagaimana membumikan tasamuh di kalangan generasi masa depan?
“Anak–anak oleh keluarga semestinya sudah diajarkan perbedaan sejak dini,
sebelum mereka beranjak remaja,” kata Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog dari Universitas
Indonesia. Lebih cepat diajarkan toleransi lebih baik bagi perkembangan jiwa
anak–anak. Saat anak mulai bergaul dengan teman–temannya, dia akan mulai
merasakan perbedaan. Jika tidak diajarkan bertoleransi, nantinya dia bisa
berkonflik dengan teman–temannya karena perbedaan.
Belajar Tasamuh di Usia Balita
Toleransi adalah perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada
dengan sesama. Biasanya orang bertoleransi terhadap perbedaan kebudayaan dan
agama. Namun, konsep toleransi ini juga bisa diaplikasikan untuk perbedaan
jenis kelamin, anak–anak dengan gangguan fisik maupun intelektual dan perbedaan
lainnya, “Toleransi juga berarti menghormati dan belajar dari orang lain,
menghargai perbedaan, menjembatani kesenjangan budaya, menolak stereotip yang
tidak adil, sehingga tercapai kesamaan sikap,” ujar Tamrin.
Mengenai pembelajaran
toleransi sejak dini, Imam B. Prasodjo, sosiolog, menyebutkan di usia empat
tahun, adalah usia yang baik untuk mengajarkan sikap menghormati terhadap
perbedaan. Sebelum mencapai usia itu, bukan berarti anak tidak dapat menyerap
berbagai contoh atau mengetahui nilai–nilai toleransi, namun di usia itu
komunikasi verbal sudah bisa terjalin. Sebab, sebenarnya sejak usia satu tahun,
alam bawah sadar anak dapat menyerap contoh yang dilakukan oleh orang tua dan
orang–orang di sekelilingnya. Namun pada usia dua tahun, sebagian besar anak
masih cenderung memiliki sifat egosentris. Artinya, anak menganggap bahwa
dirinya adalah segalanya, yang membuat mereka sulit berbagi atau belum bersedia
main dengan orang lain. Disinilah peran penting orang tua dalam menanamkan
nilai toleransi kepada anaknya, terutama menstimulasi anak agar dia siap
menerima keberadaan orang lain.
Secara bersamaan, juga
menanamkan karakter toleran terhadap orang lain yang berbeda dari dirinya.
Lingkungan rumah dan sekolah memegang peranan penting dalam mengembangkan
toleransi beragama. Jika lingkungan rumah atau sekolah yang ditemui anak
bersifat heterogen, anak dapat memahami perbedaan agama dan kebiasaan yang dilakukan
masing–masing agama. Pasalnya, anak–anak biasanya belajar dari apa yang dilihat
dan didengar dari orang tua dan orang–orang disekitarnya.
Keseharian orang tua yang
selalu toleran terhadap perbedaan memberikan pengaruh yang besar terhadap anak,
sehingga anak akan lebih menghargai tentang perbedaan juga. “Anak–anak di masa
depan dihadapkan dengan era globalisasi yang mengharuskan mereka berhadapan
dengan orang–orang yang memiliki latar belakang berbeda, sehingga pemahaman
keragaman merupakan hal penting bagi masa depan anak–anak,” ujar Imam. Apalagi,
kelak jarak antar Negara dan benua sudah semakin dekat berkat kemajuan
teknologi.
Berbicara bersama mengenai
toleransi dan memberi contoh perilaku akan membantu anak menghargai arti dari
perbedaan. Berilah kesempatan kepada anak untuk bermain dan bekerja sama dengan
teman–temannya yang lain. Psikolog anak Gordon Allport melihat anak–anak yang
diamatinya lebih cenderung tumbuh toleran, jika mereka tinggal di rumah yang
mendukung dan penuh kasih. “Mereka merasa disambut, diterima, dicintai, tidak
peduli apa yang mereka lakukan,” ungkapnya. Dalam lingkungan seperti itu,
lanjut Allport, pandangan yang berbeda tentang segala hal akan diterima,
ganjaran yang didapat tidak keras atau berubah–ubah, dan anak–anak ini umumnya
memikirkan orang–orang dari segi positif dan membawa rasa itikad baik dan
bahkan kasih sayang.
Seperti peraturan lain,
toleransi harus diajarkan dengan cara yang bijak. Meskipun anak belum bisa
bicara, mereka biasanya melihat dan meniru perilaku orang tuanya. Anak–anak,
usia berapa pun, akan mengembangkan kemampuan mereka dengan mencontoh perilaku
dan penghargaan dari orang–orang yang dekat dengan mereka. Ada empat cara
bagaimana mengajarkan toleransi pada buah hati. Pertama, perkenalkan keragaman. Anda bisa memulai dengan member
pengertian bahwa ada beragam suku, agama, dan budaya. Beritahukan pada buah
hati meskipun orang lain memiliki agama atau suku yang berbeda, manusia
sebenarnya sama dan tidak boleh dibeda–bedakan. Memperkenalkan keragaman sedini
mungkin nantinya bisa memupuk jiwa toleransi buah hati agar lebih memandang
perbedaan yang ada secara lebih bijak.
Kedua,
perbedaan
bukan untuk menimbulkan kebencian. Ajarkan pada buah hati bahwa perbedaan yang
ada, jangan disikapi dengan kebencian, karena kebencian akan membuat sedih dan
menyakiti hati orang lain. Cobalah ajak buah hati untuk berandai–andai jika dia
dibenci karena perbedaan, tentu akan merasa sedih. Dengan begitu, dia lebih
merasa empati dan bertoleransi dengan apa yang dirasakan orang lain.
Ketiga,
beri contoh. Jangan hanya memberi tahunya lewat kata–kata, tetapi juga contoh
nyata. Jika bertemu seseorang menggunakan simbol agama yang cukup ekstrim atau
seseorang yang memiliki warna kulit berbeda, jangan memandangnya dengan penuh
keanehan, apalagi mengatakan sesuatu bernada kebencian dan ledekan. Ingatlah
bahwa anda adalah contoh bagi buah hati. Bersikaplah seperti biasa dan jika
buah hati berrtanya berikan penjelasan yang bijak.
Keempat,
bertoleransi untuk kedamaian. Beritahukan pada buah hati bahwa sikap toleransi
itu sangat dibutuhkan. Jika tidak ada sikap toleransi, banyak orang yang akan
bermusuhan dan saling membenci. Katakana juga padanya jika hal itu terjadi, dia
tidak akan nyaman saat bersekolah ataupun bermain.