15 November 2011

BANGSA PERLU BERLARI



Dalam kompetisi global antarbangsa, khususnya dalam bidang ekonomi, realitas yang ada sering digambarkan sebagai pertandingan olahraga lari. Ada lari jarak pendek, menengah, dan jauh. Bangsa yang kuat dan lincah berlari stabil dan memicu percepatan. Bangsa yang banyak masalah seperti pelari yang cepat lemas, berkunang–kunang, tidak percaya diri, dan selalu tertinggal di belakang.
Hidup kita seperti orang yang berlari. Kita mesti bergerak karena seorang pelari selalu bergerak. Pelari yang tak bergerak berarti mati. Bergerak itu berikhtiar. Tak seorang pelari pun juara secara kebetulan. Tak ada perwujudan obsesi secara instan. Tentu saja kita berasumsi bahwa perlombaan lari itu berjalan secara wajar. Permulaan lari harus sama. Perangkat yang dipakai sama. Para pelari tidak boleh memakai obat perangsang. Namun, realitasnya tidak sepenuhnya demikian. Ada bangsa yang posisi permulaannya jauh di depan, ada pula bangsa yang sama sekali belum siap. Namun. Kompetisi pasar bebas tidak dapat ditunda dalam praktik. Perlombaan lari pun terus berlangsung.
Indonesia adalah bangsa yang terus berproses. Ia bangsa yang hadir dari letupan sejarah nasionalisme antikolonial. Ketika lahir, ia mewarisi segudang masalah yang ditinggalkan bangsa penjajahnya. Di antara masalah yang kompleks itu, kalau mau ditarik ke yang agak inti terkait dengan konteks kerangka pikir, mentalitas, dan etos kedisiplinannya: kita memiliki warisan mentalitas bangsa terjajah di tengah kondisi alam relative nyaman dan kurang direspons dengan etos kerja.
Tidak ada bangsa yang bangkit tanpa adanya motivasi yang kuat untuk bangkit. Motivasi itu terutama harus datang dari pemimpin. Rakyat tak cukup dapat memotivasi diri. Pemimpin itu membuat yang dipimpin bergairah dan bergerak. Memang tidak mudah menjadi pemimpin bagi bangsa yang terlalu kompleks permasalahannya, yang beban–bebannya perlu diurai satu per satu.
Itu sebabnya, pemimpin tak harus berorientasi pada popularitas. Namun, harus tampak dalam aksi nyata dan tidak dibuat–buat alias otentik. Otentisitas inilah yang kian langka di tengah gemuruh praktik demokrasi elektoral. Akumulasi ketidakotentikan atau kamuflase politik memperparah dan memperlemah jati diri serta kepercayaan diri. Sesungguhnya kita punya kesempatan emas turun mesin, menata sistem acara efektif, agar lebih siap tanding. Fase itu seharusnya dilewati dengan baik. Namun, perlu dicatat bahwa kenyataannya: bangunan sistem kita masih rapuh dan kuyup konflik. Selama urusan politik dan persatuan masih membelenggu, kita seperti belum berkutat memperbaiki mesin kendaraan yang aus dan bermasalah. Kita masih berhenti kalau bukan jalan di tempat. Padahal, dunia sudah tantang kita berlari kencang. Kita perlu berlari, terus berlari, semakin kencang dan melampaui jargon “Kita pasti bisa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar