28 September 2011

IDEOLOGI Kualitas Ekspor



MADE IN INDONESIA
Kapitalisme global menciptakan keserakahan dan penjajahan gaya baru yang meyengsarakan dunia. Ketika itulah para pemimpin dunia, melirik ideologi yang tidak liberal juga tidak sosialis. Pancasila menjadi salah satu yang “diimpor” oleh Negara–Negara maju. Ironinya, di dalam negeri Pancasila justru tak terdengar lagi.
Prof Dr Ing Bachruddin Jusuf Habibie, atau biasa di sapa Habibie, presiden RI ke–3. Di siang itu, 1 juni 2011. Di hadapan ratusan anggota DPR di gedung DPR RI Senayan. Berbicara dengan lantang, dengan aksen yang khas. Matanya masih melotot tajam, meski cahayanya agak redup termakan usia. Dengan semangat dia menekankan, bangsa ini hanya bisa maju dengan kembali melaksanakan Pancasila.
Katanya,”Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan siding Badan Penyelidik Usaha–usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag(dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung(pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.”
Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak zaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap zaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.
“Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Dimanakah Pancasila kini berada?,” Tanya Habibie di atas podium.
Pertanyaan ini penting dikemukakan. Menurutnya sejak reformasi 1998, Pancasila seolah–seolah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi, Pancasila seolah hilang dari ingatan bersama bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan.
Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk–pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik. Habibie adalah saksi mata sejarah, peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi. Namun, tak semua dari masa lalu bangsa Indonesia adalah kelam. Dia mengingatkan, Pancasila seperti duduk sunyi sendiri lantaran, terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya, perkembangan gagasan hak asasi manusi (HAM) yang tidak diimbangi dengan kewajiban asasi manusia (KAM), lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, dimana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap “manipulasi” informasi dengan segala dampaknya.
“Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai–nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kegagalan kita melakukan reaktualisasi nilai–nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia,”imbuhnya.
Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, meminggirkan Pancasila sebagai payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama, dan afiliasi politik. Pancasila masih diakui sebagai dasar Negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.
Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, dimasa lalu Pancasila dijadikan senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai “tidak Pancasilais” atau “anti Pancasila”. Lalu Pancasila menjadi identik dengan alat pembenar penguasa untuk menindas rakyat.
“Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tertentu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar Negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar Negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!” kata Habibie berkobar–kobar.
Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai–nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa. “Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai – nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tutup Habibie, yang sedang disambut tepuk tangan seluruh anggota DPR RI. Negeri Lain Melirik Indahnya Pancasila.
Harapan Habibie ini juga harapan seluruh bangsa Indonesia. Agar penyelenggara Negara, kembali menjalankan Pancasila. Begitu saktikah Pancasila? Ini bukan persoalan sakti atau tidak sakti. Pancasila semacam perasaan atau nilai murni dari kemanusiaan. Pancasila lahir di saat Perang Dunia Kedua berakhir. Di mana ada ideologi besar, liberal dan sosialis yang saling berhadapan, yang ingin melawan ideologi konservatif, yang dianut Negara–Negara penjajah. “Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk–pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.”
“Pancasila lahir dari isme yang terbentuk karena perlawanan Negara dunia ketiga termasuk Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme. Indonesia pada saat itu, baru menjadi sebuah Negara yang beradab yang harus mencari atau memeluk salah satu dari sosialisme–komunisme atau liberalisme,” ujar Budiarto Shambazy, Redaktur Harian Kompas.
Tiga ideologi ini mampat, tak berkembang. Meski begitu, setiap ideologi harus dijalankan sesuai perkembangan zaman (aktualisasi) dan terus “disegarkan”. Budiarto mencontohkan bagaimana, Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong, di 1989, berpikir–pikir “Wah, Negara ini sudah terlalu komersial, sudah menjadi bintang ekonomi, yang dipikirkan duit saja”. Goh Chok Tong lalu memerintahkan sebuah tim untuk membuat ideologi dengan nama “Share Values” atau nilai–nilai bersama. Ini menjiplak dari Indonesia.
Ideology ini dibawa ke parlemen dan dibuat pansus atau komisi khusus untuk merumuskan “Share Values”. Tahun 1991 diresmikan “Share Values” nilai bersama ini mirip dengan Pancasila yang berjumlah lima juga. “Mereka tidak malu mengatakan, kami menjiplak Pancasila,”kata Budiarto Shambazy. Amerika Serikat yang telah merdeka sejak 4 Juli 1776, bukannya tak memiliki problema dengan ideologi. Di negeri Abang Sam itu terdapat dua ideologi besar yang saling bersaing, berebut simpati sejak zaman Amerika baru merdeka, konservatisme yang diwakili oleh Partai Republik dan liberallisme yang diwakili oleh Partai Demokrat.
Di satu sisi konservatisme, menumbuhkan nasionalisme berlebihan alias Amerika Serikat di atas segala bangsa, sementara liberalism terlalu menjunjung tinggi kebebasan individu. Seorang Barrack Obama, presiden Amerika yang ingin menyantuni fakir miskin untuk memperoleh jaminan kesehatan yang layak, justru kerap ditentang oleh golongan Republik dan Demokrat. Mereka menganggap sosialisme yang dilakukan Obama, mengkhianati semangat kapitalisme yang tidak mengenal redistribusi kekayaan. Alasan mereka Amerika bukan Eropa, tak ada urusan santunan untuk orang miskin di Amerika Serikat.
Dalam Negara yang sangat individual seperti Amerika ini, bagaimana sebuah ideologi untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air ini disemai? Caranya sangat sederhana, tidak mengawang–awang di langit dengan bahasa susah atau menghafal buku setebal bantal. Sebagai contoh, film–film Holywood Amerika, menurut Undang–Undang dan ini wajib dipatuhi, setiap film Amerika mempertontonkan beberapa detik bendera Amerika. Hal ini hanya karena pemerintah menganggap masyarakat begitu “bodoh”, sampai tidak tahu bendera Negara sendiri. Tetapi itu kenyataan, untuk membangkitkan nasionalisme, walaupun Amerika sudah menjadi Negara maju mereka tetap mencari jalan–jalan yang mudah dimengerti. “Sementara di Indonesia, masih ada guru yang melarang untuk hormat kepada bendera, “kata Budiarto.
Di Amerika, anak–anak dari TK itu sudah tahu apa itu “E pluribus unum”, alias berbeda–beda tetapi satu, mirip dengan slogan Bhineka Tunggal Ika. Karena sejak dini mereka diajarkan perbedaan ras dan agama. Setiap hari pertama masuk, di sekolah–sekolah ada tulisan “men are created equal”, semua manusia diciptakan sederajat. Itu mereka hafal dan harus ditulis besar–besar di setiap sekolah SD. Ini hanya untuk mengingatkan bahwa “Kamu itu haknya sama dengan yang lain”. Soal konstitusi, baru diajarkan nanti kelas 6 SD. Semua itu dilakukan, agar mereka sudah mengerti dan melaksanakan aturan sejak dini, tanpa dipaksa menghafal dasar–dasar Negara atau hal–hal yang sifatnya normatif.
Di Indonesia, Pancasila yang mengajarkan etika, saling menghargai, saling menghormati, musyawarah untuk mufakat, kesetiakawanan, mulai diabaikan generasi muda, justru menjadi hal yang diakui keluhurannya di negeri orang. Pancasila serasa ideologi kualitas ekspor, tapi tidak pernah dinikmati di negeri sendiri. Ini seperti bensin bagus yang diekspor sementara di dalam negeri bensin kelas lima yang dijual di pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar