28 September 2011

SENA DIDI MIME DAN OBOR SAKTI DANCE TEATER

 
                               






(SENA DIDI MIME PANTOMIM BROOM IN HAND)

Sena Didi Mime dan Obor Sakti Dance Teater Mempersembahkan Broom In Hand dan The School. Acara ini diadakan pada tanggal 17 Juli 2011 jam 19.30 wib s/d selesai, HTM Rp 10.000 per orang. Acara ini didukung oleh Dinas kebudayaan dan pariwisata kota Bogor, Jurnal Bogor, dan RRI BOGOR.
The School adalah kelompok teater dari sanggar Obor Sakti yang dipimpin oleh Atang Supriatna. Pengiring music dipimpin oleh Checeng Arifin dan Yayat Odoy. Kelompok The School beranggotakan enam belas orang pemain yaitu, Parikesit S. Wangsa, Abi Mulyadi, Riina Meilan, Puun Rahayu, Aciel A. Tamrin, Rahmat Halomoan, Hakim Saiman, Chairil Anwar, Ach. Hambali, Andri Sundara, Gilang PMP, Nurhadi, Rizki Sugih, Sihabudin, Lutfi Faris, dan Abday.
Dance Teater Modern dari Obor Sakti menampilkan teater bertema pendidikan. Dengan tujuan supaya sadar betapa pentingnya pendidikan untuk anak–anak Indonesia sekarang ini. Teater yang membuat para penonton bertepuk tangan meriah karena pertunjukkannya bagus dan aksi panggung dari para pemain yang kreatif serta imajinatif. Mereka menampilkan dengan penuh semangat Dance Teater ini.
            Apabila orang tua mempunyai anak supaya disekolahkan di tempat yang sesuai dengan minat dan bakat dari anaknya sendiri. Karena kita sudah mengetahui juga biaya sekolah atau kuliah itu sekarang sangat mahal membutuhkan banyak uang. Orang tua yang selalu berusaha dan bekerja keras siang malam seakan tak mengenal letih. Hanya untuk anak–anaknya tercinta dapat bersekolah atau kuliah sesuai dengan minat dan bakatnya masing–masing. Mencari ilmu dan pengetahuan untuk bekalnya nanti kelak anak–anaknya tumbuh dewasa. Jaman yang semakin modern serta teknologi semakin canggih apabila tidak pintar bisa terkena tipu orang lain.
Tetapi, apa jadinya bilamana kerja keras serta usaha orang tua kita yang mencari uang dari pagi, siang, dan malam untuk biaya pendidikan anaknya itu disia–siakan begitu saja. Dengan maksud anak–anaknya disekolahkan atau bahkan sampai bisa kuliah di perguruan tinggi, anaknya mengecewakan kepercayaan orang tuanya. Seharusnya sekolah atau kuliah mencari ilmu dan berprestasi dalam belajar, ini disekolah atau bahkan di kampusnya hanya mabuk–mabukkan, gele atau ganja, sampai parahnya lagi over dosis narkoba.
Begitu kecewa perasaan dari orang tuanya melihat anak–anaknya menjadi seperti itu kecanduan narkoba. Sebaliknya demikian apabila anak–anaknya itu berhasil menjadi orang yang pintar, cerdas, kreatif, imajinatif, serta mempunyai prestasi disekolah atau di kampusnya. Orang tua melihat dengan hati terharu dan gembira pada anaknya. Kerja keras dan usaha orang tua mencari uang untuk biaya pendidikan anak–anaknya semua menjadi bermanfaat.
Broom In Hand adalah sekelompok orang yang tergabung dalam Teater Pantomim Sena Didi Mime. Menampilkan pantomime pada acaranya di Gedung Kemuning Gading 17 juli 2011 lalu. Broom In Hand di produseri oleh Didi Petet, Sutradara Yayu Aw Unru, Manager Rama Sastra, Lighting Donie D. Burkud, Music Jalu, Artistik Udin, Beni, Virhot, Stage Manager Faizal, Sky, dan para pemain beranggotakan lima orang laki–laki yaitu, A. Ramadhan Al Rasyid, Yehuda Gabrielita, Abdullah Rahman, Abu Bakar, Stefanus Hermawan Kristyan.
Sena Didi Mime berdiri atas prakarsa dua orang seniman lulusan institut Kesenian Jakarta pada tahun 1977, saat keduanya masih aktif sebagai mahasiswa. Mereka adalah Sena A. Utoyo dan Didi Petet. Sena Didi Mime adalah satu–satunya grup teater yang ada di Indonesia. Kiprahnya sampai di berbagai festival Internasional.
Proses kreatif karya pentas Sena Didi Mime dapat dibagi dalam dua model penciptaan. Pertama, karya–karya yang diciptakan dalam bentuk cerita dengan plot linear. Pada model ini, tuturan cerita disajikan lengkap dengan karakterisasi tokoh yang memaparkan, menciptakan dan menyelesaikan konflik yang membentuk keseluruhan cerita.
Model penciptaan ini tampak dalam karya–karya seperti BECAK, STASIUN, SOLDAT, BECAK B KOMPLEKS, LOBY–LOBY HOTEL PELANGI (1991), serta GANGSTER DAN TEMANMU. Kedua, karya – karya yang diciptakan dalam bentuk cerita non linear. Pada model ini cerita dibangun dengan jalan mengaktualkan setiap gagasan ke dalam bentuk sketsa situasi. Akan tetapi satu sketsa situasi dengan yang lainnya sengaja tidak dirangkai secara naratif, namun masing – masing dibiarkan hadir begitu saja, sehingga keseluruhan karya tampil sebagai kolase dari berbagai sketsa situasi tersebut. Beberapa karya yang menjadi contoh model penciptaan semacam ini adalah SEKATA KAKTUS DU FULUS, SE TONG SE TENGGAK, KASO KATRO, serta DALAM KANTONG PLASTIK.
Di dalam kedua model ini, karkter–karakter pada masing–masing repertoar tersebut pada saat tertentu menjadi tidak permanen. Akibatnya, pada suatu situasi tertentu karakter antagonis bisa saja berubah menjadi protagonist ataupun sebaliknya. Dan yang lebih ekstrim lagi adalah bahwa dapat saja secara arbitrer karakter–karakter keseluruhannya berubah wujud dan sekedar menjadi sebuah situasi sehingga dapat mengecoh dan merobek imajinasi penonton. Hal di atas bukannya lahir dari ketidaksengajaan, namun secara sadar diciptakan untuk mendinamisasi sifat kaku dari model penceritaan baku sebuah karya pentas yang sering kali tidak lagi memiliki kejutan. Oleh karenanya pembacaan karya pentas seperti itu lebih tepat dianalogikan dengan membaca puisi ketimbang membaca prosa. Namun model penciptaan ini, tentu saja, tidak dimaksudkan untuk menjadi tidak komunikatif. Karena seperti juga sebuah puisi, ia merupakan sebuah ekspresi kesenian yang memiliki cara khasnya dalam berkomunikasi.
Aktualisasi gagasan sebagai tulang punggung kreasi model kedua ini dalam keseluruhan repertoar Sena Didi Mime bersumber dari situasi keagamaan social di seputar kita. Ia dibentuk ke dalam suatu sketsa situasi yang diekspresikan secara teateral dengan kerangka komedi kental yang terdapat dalam semangat pantomime. Adapun pola pantomime disini menjadi unik dan menarik oleh karena struktur komedinya memiliki keluasan imajinasi tanpa batas. Lebih dari itu, ia bahkan mampu menjangkau fantasi yang dapat ditemui lewat film–film kartun.
Mengenai dialog yang diciptakan secara terbatas, meski bertentangan dengan pola lazim pantomime, namun hal ini disadari sebagai sebuah gebrakan kreatif dalam meruntuhkan pembatas antara konvensionalitas teater pada umumnya dengan konvensionalitas pantomim itu sendiri. Dan alasan seperti itu juga didasarkan pada beberapa pertimbangan yang sangat masuk di akal. Kesadaran akan adanya sebuah situasi penceritaan dalam karya pentas Sena Didi Mime misalnya, sering kali menuntut agar gagasan yang hendak disampaikan dapat lebih mudah untuk dicerna penonton sehingga pemakaian kata–kata menjadi tidak terelakkan.
Namun sering kali pula dialog diciptakan hanya untuk mengejar efek bunyi bernilai musical, dibanding untuk menjadikannya dialog bernilai verbal. Di sini, perhitungan melodi dan timing dari penciptaan dan penempatan dialog mendapat perhatian tersendiri agar tidak terjebak ke dalam bentuk drama kata–kata ataupun sebaliknya, dimana aktualisasi cerita tidak juga terjebak ke dalam pola drama bisu yang dipenuhi oleh bahasa–bahasa isyarat. Dengan model–model penciptaan seperti ini, sebuah proses latihan tentunya menjadi aktivitas yang sangat penting. Dalam hal ini,  tempat latihan harus mendapatkan perhatian tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar