18 Desember 2011

EDITORIAL, Pelayanan TKI



Kita ingin permasalahan TKI bisa ditekan dan kalau mungkin ditiadakan.
 Hasil inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI), Jakarta, Senin (17/10) lalu, sesungguhnya tidak ada yang aneh. Pelayanan berbelit–belit, birokrasi panjang, serta rawan pungutan liar (pungli) menjadi bagian yang sulit terpisahkan ketika menyentuh persoalan TKI.
Ketika datang, Muhaimin tentu menerima banyak keluhan dari mereka. Jawabannya juga seperti yang biasa, yakni pemerintah berjanji melakukan evaluasi menyeluruh dan pengawasan superketat kepada pihak–pihak yang selama ini melaksanakan operasional sistem pelayanan administrasi TKI. Selain itu, Muhaimin juga akan menindak dengan tegas siapa pun yang melakukan pungli dan member pelayanan yang rumit dalam pengurusan dokumen tenaga kerja.
Kita menyambut baik apa yang diucapkan Menakertrans. Sepintas, pernyataan seperti itu biasa dan diulang–ulang. Namun jika dipahami, hal itu membuktikan permasalahan TKI hingga kini sulit atau belum bisa diatasi secara total. Permasalahan yang sering muncul dan sudah diselesaikan, beberapa saat kemudian muncul lagi. Contohnya, persoalan TKI yang berdiam di bawah kolong jembatan di Jeddah Arab Saudi, kini muncul lagi.
Dalam sejarah penempatan TKI ke luar negeri, permasalahan TKI sering menonjol karena menyangkut hubungan bilateral Indonesia dengan Negara yang menjadi tujuan penempatan. Banyaknya persoalan itu mendorong dilakukannya penghentian sementara (moratorium) pengiriman TKI ke sejumlah Negara. Namun, dengan moratorium, sepertinya penderitaan TKI belum juga berakhir. TKI terutama yang bekerja di sektro informal sebagai penata laksana rumah tanggam (PLRT) kerap menjadi objek penganiayaan majikannya. Meski tidak semua majikan berkelakuan buruk terhadap TKI, pemberitaan yang buruk atas perlakuan yang diterima TKI mengukuhkan citra TKI seperti itu. Seharusnya, jika ditelusuri lebih jauh, permasalah TKI itu bukan hanya ketika sudah ditempatkan di luar negeri.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan hasil pemeriksaan atas kinerja penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, menemukan tujuh permasalahan pokok yang melilit mereka. Hasil pemeriksaan menunjukkan ketidakjelasan kebijakan dan lemahnya sistem penempatan dan perlindungan TKI. Kondisi itu member peluang terjadinya penyimpangan mulai dari proses rekrutmen, pelatihan, pengujian kesehatan, pengurusan dokumen, proses penempatan di Negara tujuan, hingga pemulangan. Inti laporan BPK ini dengan jelas menyebutkan, persoalan TKI sesungguhnya berasal dari dalam negeri sendiri.
Seharusnya, dengan hasil laporan BPK, cukup bagi pemerintah atau siapa pun yang berkepentingan dengan pembenahan TKI, untuk melakukan pembenahan. Jika ternyata, upaya pembenahan pelayanan TKI hanya kamuflase saja atau menjadi alat politik, persoalan TKI akan tetap muncul. Kita ingin permasalah TKI bisa ditekan dan kalu mungkin ditiadakan. Sebaliknya, jika tidak berhasil menuntaskan persoalan-persoalan itu, berarti sikap pro terhadap TKI hanya cerita khayalan.
Kita berharap, pemerintah dapat secara tekun dan bersungguh–sungguh mendesain segala kebijakan yang menyangkut TKI. Sepanjang pemerintah belum bisa menyediakan lapangan kerja di dalam negeri, bekerja di luar negeri menjadi solusi yang sangat menarik. Iming–iming gaji besar dan berbagai fasilitas di Negara penempatan sering kali membutakan kita, termasuk TKI sebagai pelaku juga jajaran pemerintah swasta yang terlibat dalam pengiriman mereka.
(Pikiran Rakyat, RABU, 19 OKTOBER 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar