18 Desember 2011

TEORI GROUP THINK


Di presentasikan oleh Fadhli Kurniawan

Groupthink menurut Irvings Janis (1972) adalah istilah untuk keadaan ketika sebuah kelompok membuat keputusan yang tidak masuk akal untuk menolak anggapan/ opini publik yang sudah nyata buktinya, dan memiliki nilai moral. Keputusan kelompok ini datang dari beberapa individu berpengaruh dalam kelompok yang irrasional tapi berhasil mempengaruhi kelompok menjadi keputusan kelompok. Groupthink mempengaruhi kelompok dengan melakukan aksi-aksi yang tidak masuk akal dan tidak mempedulikan pendapat-pendapat yang bertentangan diluar kelompok. Kelompok yang terkena sindrom groupthink biasanya adalah kelompok yang anggota-anggotanya memiliki background yang sama, terasing (tidak menyatu, terisolir) dari pendapat-pendapat luar, dan tidak ada aturan yang jelas tentang proses pengambilan keputusan.
Contohnya, keputusan AS menyerang Irak, banyak ditentang oleh negara lain dan bahkan sebahagian warga negaranya sendiri, meskipun dengan alasan adanya senjata pemusnah massal dan terorisme. Buktinya, dalam pemilu sela di AS dalam beberapa hari ini, partai Republik yang merupakan partainya pemerintahan Bush, kalah dari partai Demokrat. Di antara sebab kekalahan itu adalah karena masalah kebijakan pemerintah AS (yang dikuasai partai Republik) menyerang Irak (Reuter, 8/11). Akan tetapi buktinya keputusan itu telah dilaksanakan juga, dan media massa juga ikut membentuk pandangan masyarakat dengan memberitakan alasan-alasan yang membolehkan serangan tersebut. Para anggota kelompok yang tergabung dalam groupthink tersebut tidak pernah dan bahkan pantang menyalahkan pihak pemrakarsa gagasan serangan tersebut.
Contoh groupthink lain terjadi pada waktu meledaknya pesawat ruang angkasa Challenger. Padahal salah satu mekaniknya sudah faham kalau ada yang tidak beres dengan pesawat tersebut, sebelum diadakan peluncuran. Tetapi karena kepala mekanik sudah mengatakan bahwa pesawat dalam kondisi siap luncur, maka para anggota mekanik harus menjalankan tugasnya. Akhirnya, pesawat itu meledak diangkasa yang menewaskan seluruh awaknya. Namun para mekanik tetap membela kelompoknya dengan alasan bahwa suatu kecelakaan lumrah saja terjadi. Jadi tidak ada pihak yang salah. Namun tentunya, pengakuan mereka dianggap demikian oleh masyarakat sejauh media massa memberitakannya sesuai dengan alasan seluruh mekanik tersebut.
Singkatnya tentang groupthink, terjadi manakala ada semacam konvergenitas pikiran, rasa, visi, dan nilai-nilai di dalam sebuah kelompok menjadi sebuah entitas kepentingan kelompok, dan orang-orang yg berada dalam kelompok itu dilihat tidak sebagai individu, tetapi sebagai representasi dari kelompoknya. Apa yang dipikirkan, dirasa, dan dilakukan adalah kesepakatan satu kelompok. Tidak sedikit keputusan-keputusan yang dibuat secara groupthink itu yang berlawanan dengan hati nurani anggotanya, maupun orang lain di luarnya. Namun mengingat itu kepentingan kelompok, maka mau tidak mau semua anggota kelompok harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu kesepakatan bersama.
Faktor utama Concurrent Seeking Behavior sering menjadi dasar terjadi groupthink. Concurrent Seeking Behavior adalah perilaku kecenderungan saling ketergantungan dan kesepakatan bersama untuk bersatu dalam memecahkan masalah dalam kelompok. Perilaku ini muncul dipengaruhi variabel kelompok kohesif, struktur kelompok yang jelek dan konteks provokatif. Ketiga variabel inilah yang mempengaruhi kelompok untuk cenderung menggunakan groupthink dalam pemecahan masalah.
Groupthink adalah situasi di mana perilaku concurrent seeking cenderung muncul sebelum pendefinisian masalah dan solusi dibuat secara baik. Kecenderungan munculnya perilaku tersebut dalam situasi menghadapi masalah, disebabkan adanya stress dan kecemasan. Stres dan kecemasan akan ketidakmampuan dan ketidakpercayaan diri mengahdapi masalah menyebakan kelompok cenderung menghindari dan lari dari masalah. Kepercayaan diri yang berlebihan menyebabkan kecenderungan mengambil resiko yang terlalu besar yang tidak sebanding dengan manfaat yang akan diperoleh organisasi dari keputusan yang tidak rasional.
Irving Janis (Baron & Byrne, dalam Hanurwan, 2001) mengidentifikasi delapan simptom tentang berpikir kelompok (group think) pada proses munculnya kekerasan.Pertama adalah adanya simptom kekebalan diri (illusion of invulnerability), dimana pada situasi ini sebuah kelompok akan memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi dengan keputusan yang diambil dan kemampuan yang mereka miliki. Mereka memandang kelompok mereka yang sangat unggul dan tidak pernah kalah dalam segala hal. Berikutnya adalah adanya simptom stereotip bersama, dimana suatu kelompok memiliki pandangan sempit dan anggapan sepihak bahwa kelompok lain lebih lemah. Adanya simptom moralitas, dimana pada suatu kelompok muncul anggapan bahwa kelompoknyalah yang paling benar dan merasa perlu untuk menjadi pahlawan kebenaran yang bertugas meluruskan kesalahan yang dilakukan kelompok lain. Kemudian adanya simptom rasionalisasi yang menjelaskan adanya argumentasi sendiri bahwa perilaku agresi tersebut merupakan keinginan kelompok lawan  sendiri dan tindakan yang dilakukan adalah untuk membebaskan mereka (seperti kasus invasi AS ke Irak). Adanya simptom ilusi anonimitas, dimana ketika ada sebagian anggota yang ragu dengan tindakan kelompoknya namun tidak seorangpun dari mereka memiliki keberanian untuk mengungkapkan keraguan tersebut. Anonimitas yang menyebabkan individu-individu yang masuk dalam kelompok menjadi kehilangan identitas individunya (deindividuasi). Kondisi ini akan mendorong berkurangnya kendali moral individu yang selanjutnya timbul penularan perilaku yang tidak rasional dan cenderung bersifat destruktif. Adanya simptom ini dikuatkan dengan simptom tekanan untuk berkompromi terhadap keputusan kelompok. Individu akan ditekan untuk memiliki pandangan yang sama dengan sebagian besar individu lain yang ada dalam kelompoknya. Sampai pada tahap ini, tahapan berikutnya adalah munculnya gejala Swa-Sensor, dimana dibawah pengaruh kelompok yang sangat kohesif akan membuat sebagian besar orang mensensor setiap pandangan yang berbeda yang muncul dari diri mereka sendiri. Simptom terakhir adalah adanya usaha-usaha pengawasan mental. Dalam kelompok yang kohesif, satu orang atau lebih akan memiliki peran yang secara psikologis bertugas memelihara suasana dengan cara menekan orang yang berbeda pendapat dari kelompok umumnya.
Cara mengatasi groupthink menurut Janis adalah pemimpin kelompok menangguhkan penilaian, mendorong munculnya berbagai kritik atas program atau keputusan yang diusulkan, mengundang ahli-ahli dari kelompok luar, menugaskan satu atau dua orang anggota untuk menjadi devil’s advocate guna menentang pendapat mayoritas (sekalipun mereka sebenarnya setuju dengan pendapat itu), dan kelompok harus membuat keputusan-keputusan secara bertahap, tidak sekaligus.
Kritik E.M Griffin (1997) terhadap groupthink Janis adalah tidak adanya penelitian komprehensif mengenai kasus-kasus yang dianggap memenuhi kualifikasi groupthink, seperti Challenger-nya USA, sehingga faktor kohesifitas kelompok yang mendominasi terjadinya groupthink sulit diukur kadarnya. Intinya, Griffin mempertanyakan bagaimana, kenapa dan sejauh mana kohesifitas kelompok bisa membuat keputusan yang difinalisasi adalah salah/keliru.
Menelaah fenomena groupthink yang kebanyakan kasus yang diambil Janis berasal dari Amerika Serikat yang menganut demokrasi, Mulyana mempertanyakan mungkinkan groupthink atau fenomena sejenis itu juga terjadi di negara timur seperti Indonesia yang mewarisi budaya feodal dan paternalistik yang masyarakatnya ditandai dengan hubungan patron dan klien? Setiap teori atau konsep memang terikat budaya dan karena itu belum tentu berlaku dalam budaya lain. Groupthink boleh jadi muncul juga dalam komunikasi kelompok di kalangan elite politik kita, hanya saja ciri-cirinya mungkin agak lain. Misalnya, apakah keputusan yang diambil mantan Presiden Soharto berlandaskan groupthink yang dihasilkan Soeharto dan para pembantunya, setidaknya groupthink yang khas Indonesia yang lebih diwarnai oleh pendapat Soeharto? Atau apakah keputusan-keputusan Soeharto itu berdsarkan obrolan keluarga besar Cendana di meja makan? Semua itu rasanya masih samar kalaupun bukan misteri dan memrlukan kajian lebih dalam. Masih bisa kita ingat, cukup banyak keputusan Soeharto dan para pembantunya ini yang menghasilkan tindakan-tindakan yang dianggap sebagai kekeliruan fatal yang kesemuanya berakumulasi, merugikan rakyat banyak, menciptakn ketidakpuasan mereka dan akhirnya menimbulkan krisis politik dan ekonomi kita belakangan ini.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas diperlukan studi yang lebih seksama lewat wawancara mendalam dengan orang-orang yang pernah terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan tersebut dan dokumen-dokumen yang relevan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar