18 Desember 2011

Demam yang Cepat Mendunia



Pramuka memiliki karakter disiplin, berani, dan mandiri. Pelajaran itu diperoleh dari Lord Baden Powell, bapak pramuka dunia. Di Indonesia, gerakan kepramukaan lahir dalam atmosfer pergerakan nasional. Kepanduan segera menjadi “demam” di kalangan pemuda, yang kemudian masuk ke Indonesia pula.
Kalau anda melihat para pemuda yang tergabung dalam Pramuka memiliki ketangkasan, intelektual yang terasah, disiplin, dan mandiri, itu semua merupakan jasa Lord Robert Baden Powell (1857–1941). Dia mampu memadukan bagaimana cara bertahan hidup suku Zulu di Afrika dengan disiplin militer, namun perpaduan itu tak membuat gerakan panduan alias Pramuka terlihat bagai militer.
Robert Baden Powell memiliki nama asli Robert Stephenson Smyth Baden–Powell, berjuluk 1st Baron Baden–Powell lahir di Paddington, London, Inggris, 22 February 1857. Lahir dalam keluarga besar Harry Baden–Powell, seorang pendeta dan professor Geometri di Universitas Oxford. Anak keenam dari 8 bersaudara ini ditinggal mati ayahnya pada usia 3 tahun.
Ibunya, Henrietta Grace Smith, mendidiknua sebagai orangtua tunggal. Yang meyakini anak–anaknya harus menjadi seorang yang berhasil dalam meraih cita–citanya. Untuk itu ibunya selalu menerapkan disiplin yang ketat dan kemandirian yang tinggi. Masa muda dilewati dengan saudara–saudaranya dengan berburu dan memasak hasil buruan, berkano atau berlayar menyusuri sungai, melukis, bermain sandiwara, main musik, atau “petak umpet” dari kejaran guru–gurunya.
Pada 1876, Baden–Powell bergabung dengan 13th Hussars di India. Lantas 19 tahun kemudian dia bertugas di dinas khusus di Afrika  dan pulang ke India pada tahun 1897 untuk memimpin 5th Dragoon Guards. Kemahirannya bertahan hidup di alam bebas dia peroleh dari suku Zulu, Afrika Selatan pada awal 1880–an. Dari sinilah dia mulai merumuskan cara–cara bertahan hidup di alam bebas, yang kelak dibukukan dan menjadi teori kepramukaan.
Suku Zulu member penghargaan kepadanya dengan julukan impeesa; serigala yang tak pernah tidur, karena dia sering berjaga–jaga saat malam. Kantankye; orang yang memakai topi lebar, karena dia selalu memakai topi lebar. Dan m’halapanzi; orang yang bertiarap yang siap menembak. Kemampuannya itu membuat karir militernya kian cemerlang. Berbagai pertempuran dilewatinya dengan kemenangann yang gilang gemilang. Kisah sohor yang membuatnya kian dihormati adalah saat pasukan khusus yang dipimpinnya dikepung oleh 8 ribu suku Boer selama 217 hari di wilayah Natal.
Dengan jumlah pasukan yang sedikit, Lord Baden Powell dan pasukannya selamat hingga orang–orang Boer memutuskan berhenti mengepungnya. Beberapa tahun kemudian, dia menulis buku panduan ringkas bertajuk “Aids to Scouting”, ringkasan ceramah yang dia berikan mengenai ketentaraan, untuk membantu melatih perekrutan tentara baru. Menggunakan buku ini dan kaidah lain, ia melatih mereka untuk berpikir sendiri, menggunakan daya usaha sendiri, dan untuk bertahan hidup dalam hutan. Usai perang Boer di awal 1990–an, ia diangkat sebagai pahlawan nasional dan menjabat Mayor Jenderal.
Setelah kembali, Baden–Powell mendapati buku panduan ketentaraannya “Aids to Scouting” telah menjadi buku terlaris, dan telah digunakan oleh para guru dan organisasi pemuda. Kembali dari pertemuan dengan pendiri Boys’ Brigade, Sir William Alexander Smith, Baden–Powell memutuskan untuk menulis kembali Aids to Scouting agar sesuai dengan pembaca remaja, dan pada tahun 1907 membuat satu perkemahan di Brownsea Island bersama dengan 22 anak lelaki yang berlatar belakang berbeda, untuk menguji sebagian dari idenya. Buku “Scouting for Boys” kemudian diterbitkan pada tahun 1908 dalam 6 jilid. Dari sinilah kepanduan dikenal dunia, yang sebelumnya merupakan ide Baden Powell selama perang, dengan membentuk pasukan anak–anak sebagai penghubung dan tugas intelejen, menembus jauh pertahanan musuh.
Kanak–kanak remaja membentuk “Scout Troops” secara spontan dan gerakan ini berkembang dari tingkat nasional sampai internasional. Gerakan pramuka berkembang seiring dengan Boys’ Brigade. Suatu pertemuan untuk semua pramuka diadakan di Crystal Palace di London pada 1908, di mana Baden–Powell menemukan gerakan Pandu Puteri yang pertama. Pandu Puteri kemudian didirikan pada tahun 1910 di bawah pengawasan saudara perempuan Baden–Powell, Agnes Baden–Powell.
Dari Luar Negeri Masuk ke Indonesia. Organisasi kepramukaan di Indonesia dimulai dengan adanya cabang “Nederlandse Padvinders Organisatie”(NPO) pada tahun 1912, yang pada saat pecahnya Perang Dunia I memiliki kwartir besar sendiri serta kemudian berganti nama menjadi “Nederlands–Indische Padvinders Vereeniging”(NIPV) pada tahun 1916.
Organisasi ini mendorongh para pemuda Jawa membentuk “Javaanse Padvinders Organisatie”(JPO); berdiri atas prakarsa S.P. Mangkunegara VII pada 1916. Kepramukaan ini menciptakan rasa cinta tanah air di kalangan para pemuda, yang seide dengan pergerakan nasional. Dengan adanya larangan penggunaan kata Padvinders oleh pemerintah belanda, maka “Padvinders Muhammadiyah” yang pada 1920 berganti nama menjadi “Hizbul Wathon”(HW).Syarikat Islam mendirikan “Syarikat Islam Afdeling Padvinderij” yang kemudian diganti menjadi “Syarikat Islam Afdeling Pandu” dan lebih dikenal dengan SIAP.
Nationale Islamietishe Padvinderij (NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond (JIB) dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (NIPO) didirikan oleh Pemuda Indonesia. Hasrat bersatu bagi organisasi kepramukaan Indonesia waktu itu tampak mulai dengan terbentuknyas Persaudaraan Antara Pandu Indonesia (PAPI), yang merupakan federasi dari Pandu Kebangsaan, INPO, SIAP, NATIPIJ dan PPS pada tanggal 23 Mei 1928.
Federasi ini tidak dapat bertahan lama, karena niat adanya fusi, akibatnya pada 1930 berdirilah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang dirintis oleh tokoh dari Jong Java Padvinders/Pandu Kebangsaan (JJP–Jong Java Padvinderij); PK–Pandu Kebangsaan). PAPI kemudian berkembang menjadi Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) pada bulan April 1938. Antara tahun 1928–1935 bermuncullah gerakan kepramukaan Indonesia baik yang bernafas utama kebangsaan maupun bernafas agama.
Sebagai upaya untuk menggalang kesatuan dan persatuan, Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) merencanakan “All Indonesian Jamboree”. Rencana ini mengalami beberapa perubahan baik dalam waktu pelaksanaan maupun nama kegiatan, yang kemudian disepakati diganti dengan “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem” disingkat PERKINO dan dilaksanakan pada tanggal 19–23 Juli 1941 di Yogyakarta. Di masa pendudukan Jepang organisasi politik dan kemasyarakatan dilarang berdiri, termasuk pramuka.
Sebulan sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa tokoh kepramukaan berkumpul di Yogyakarta dan bersepakat untuk membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia (PPKI) sebagai suatu panitia kerja, yang segera mengadakan Konggres Kesatuan Kepanduan  Indonesia. Kongres pada 27–29 Desember 1945 di Surakarta itu berhasil membentuk Pandu Rakyat Indonesia. Perkumpulan ini didukung oleh segenap pimpinan dan tokoh serta dikuatkan dengan “Janji Ikatan Sakti”, lalu pemerintah RI mengakui sebagai satu–satunya organisasi kepramukaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947.
Tahun–tahun sulit dihadapi oleh Pandu Rakyat Indonesia karena serbuan Belanda. Bahkan pada peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1948, saat dihelat api unggun di halaman gedung Pegangsaan Timur 56, Jakarta, Soeprapto tewas ditembak tentara Belanda, lantaran menentang pembubaran acara itu. Belanda juga melarang kegiatan kepanduan di wilayah yang didudukinya. Pada Kongres II pada 20–22 Januari 1950 di Yogyakarta, memutuskan Pandu Rakyat Indonesia bukan lagi satu–satunya organisasi kepramukaan di Indonesia. Untuk mewadahi beraneka organisasi kepramukaan itu pada 16 September 1952 didirikan Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO).
Pada 1953 Ipindo berhasil menjadi anggota kepramukaan sedunia, dan menyelenggarakan Jambore Nasional, bertempat di Ragunan, Pasar Minggu pada tanggal 10–20 Agustus 1955. Nama Pramuka dalam kegiatan kepanduan, baru muncul setelah adanya Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 tentang rencana pembangunan Nasional Semesta Berencana. Dalam ketetapan ini dapat ditemukan Pasal 330 C. yang menyatakan bahwa dasar pendidikan di bidang kepanduan adalah Pancasila.
Seterusnya penertiban tentang kepanduan (Pasal 741) dan pendidikan kepanduan supaya diintensifkan dan menyetujui rencana Pemerintah untuk mendirikan Pramuka (Pasal 349 ayat 30). Kemudian kepanduan supaya dibebaskan dari sisa – sisa Lord Baden Powellisme (Lampiran C ayat 8). Karena itulah Presiden/ Mandataris MPRS pada 9 Maret 1961 mengumpulkan tokoh–tokoh dan pemimpin gerakan kepramukaan Indonesia, di Istana Negara.
Presiden Sukarno menginginkan pembaharuan metode dan aktivitas pendidikan seluruh organisasi kepanduan, yang dilebur menjadi Pramuka. Presiden juga menunjuk panitia yang terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Menteri P dan K Prof. Prijono, Menteri Pertanian Dr. A. Azis Saleh dan Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa, Achmadi. Panitia ini disahkan dalam Keputusan Presiden RI No. 112 Tahun 1961 tanggal 5 April 1961. Masih dalam bulan April itu juga, keluarlah Keputusan Presiden RI Nomor 121 Tahun 1961 tanggal 11 April 1961 tentang Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Anggota Panitia ini terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh, Achmadi dan Muljadi Djojo Martono (Menteri Sosial).
Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka, sebagai Lampiran Keputusan Presiden R.I Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961 tentang Gerakan Pramuka. Menurut Anggaran Dasar Gerakan Pramuka, pimpinan perkumpulan ini dipegang oleh Majelis Pimpinan Nasional (MAPINAS) yang di dalamnya terdapat Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Kwartir Nasional Harian. Mapinas diketuai oleh Dr. Ir. Soekarno, Presiden RI dengan Wakil Ketua I, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Ketua II Brigjen TNI Dr. A. Azis Saleh. Sementara itu dalam Kwarnas, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjabat Ketua dan Brigjen TNI Dr. A. Azis Saleh sebagai Wakil Ketua merangkap Ketua Kwarnari.
Pada 14 Agustus 1961, Presiden melantik anggota Mapinas, Kwarnas dan Kwarnari, di Istana Negara, dan menyampaikan anugerah tanda penghargaan dan kehormatan berupa Panji Gerakan Kepanduan Nasional Indonesia (Keppres No. 448 Tahun 1961) yang diberikan kepada Ketua Kwartir Nasional, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sesaat sebelum pawai yang diikuti 10 ribu anggota Pramuka. Tanggal itu lantas diperingati sebagai Hari Pramuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar